Monday, August 10, 2009

PUDARNYA PESONA CLEOPATRA

Cerita ini berawal dari setting latar belakang budaya Jawa yang kental dengan penghormatan terhadap figur dan bakti pada orang tua. Selain tentunya dibalut juga dengan nuansa religi, cirri khas sang penulis. Cerita cinta antara 2 tokoh utama dalam novel ini, yaitu “aku” dan Raihana. Dimulai saat keduanya harus disatukan oleh sebuah perjodohan yang mungkin akan terdengar konyol di era abad 21 ini. Berbeda dengan Raihana yang benar-benar merupakan cermin wanita Jawa. Selalu Manut dan pasrah pada keadaan dengan penuh kesabaran. Si Aku justru berbanding terbalik dalam menyikapi takdir tersebut. Aku yang sempat mengeyam pendidikan dan hidup di Mesir. Menjadikannya terlalu mendasarkan parameter kecantikan kepada figur-figur gadis Mesir selayaknya Cleopatra. Meskipun begitu, kecintaannya dan bakti pada sang ibulah yang mengalahkan dengan berbau keterpaksaan, hingga akhirnya keduanya menikah.

Konflik tidak berakhir di situ saja, setelah resmi menikah dan keduanya membangun hidup baru dengan tinggal di Malang, sebagai konsekuensi pekerjaan aku yang seorang dosen. Aku semakin terbenam dalam khayalan tentang aura kecantikan gadis-gadis mesir yang terus saja menggelayut dalam benaknya. Mengakibatkan segala perilaku dan komunikasi dengan sang istri menjadi hambar. Raihana, dilandasi ketakwaan terhadap Allah dengan penuh sabar berusaha terus membuktikan kecintaan dan kepatuhan sebagai seorang istri. Seperti yang digariskan dalam ajaran agama. Walaupun semua itu tak mampu sedikitpun mengetuk rasa cinta sang suami berpaling kepadanya. Satu hal yang dihindari soleh Raihana adalah, jangan sampai sang suami menceraikannya. Karena dia tahu hal itu adalah neraka baginya, menghalangi dia mendapatkan cinta hakiki dari Allah. Sementara itu, Aku semakin lama semakin tenggelam dalam dunia fantasinya sendiri, bahkan timbul kebencian pada sang istri yang dia anggap telah “mematikan” harapan merengkuh indahnya cinta yang dia dambakan dengan wanita Mesir yang sering hadir dalam mimpi-mimpinya. Setelah sekian lama, dengan segala derita berbeda yang mendera keduanya. Di satu sisi Raihana tidak pernah mendapatkan cinta dari suami, di sisi lain aku tak mampu memalingkan cintanya pada sang istri, bahkan dengan kehamilan istrinya sekalipun. Raihana memutuskan untuk tinggal dengan kedua orang tuanya sendiri sambil menunggu saat kelahiran anak mereka. Saat-saat tanpa istri disampinglah yang pelan-pelan mulai menyadarkan aku betapa penting kehadiran Raihana dalam hidupnya. Ditambah kemudian cerita, petuah, dan curahan hati beberapa teman dosen yang kebetulan pernah menikah dengan gadis Mesir yang ternyata menghadirkan pemahaman baru dalam diri aku, bahwa gadis-gadis Mesir tidaklah sesempurna yang dia bayangkan. Bahkan di beberapa sisi, wanita Jawa jauh lebih baik untuk menjadi pendamping hidup. Aku akhirnya sadar, betapa beuntungnya dia memiliki seorang Raihana. Istri yang Allah karuniakan meski dengan jalan yang dulunya dia anggap sebagai produk keterbelakangan budaya. Namun, apakah waktu masih mau menunggu untuk mereka, setidaknya memulai kembali merajut benang-benang cinta? Sebuah pertanyaan yang harus anda cari jawabnya sendiri dengan membaca “mini novel” ini. Satu hal yang menjadi inti dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis buku ini adalah, “jangan pernah menganggap kecantikan adalah segalanya”.Selengkapnya klik di sini